Selasa, 03 Juli 2012

ADOPSI ANAK MENURUT PANDANGAN HUKUM ADAT





MAKALAH


ADOPSI ANAK MENURUT PANDANGAN HUKUM ADAT



OLEH:

MELDA THERESIA S (080200220)
KASTRO SITORUS (100200032)


Diajukan Untuk Memenuhi persyaratan Ujian Akhir Semester 
pada Mata Kuliah Hukum Adat Lanjutan

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

 Pada hakekatnya perkembangan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat pendukungnya. Dalam pembangunan hukum nasional, peranan hukum adat sangat penting. Karena hukum nasional yang akan dibentuk, didasarkan pada hukum adat yang berlaku. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Bila hukum adat yag mengatur sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengn kebutuhan warganya maka warganya sendiri yang akan merubah hukum adat tersebut agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pengetua adat.
Hukum adat mengalami perkembangan karena adanya interaksi sosial, budaya, ekonomi dan lain-lain. Persintuhan itu mengakibatkan perubahan yang dinamis terhadp hukum adat. Selain tidak terkodifikasi, hukum adat itu memiliki corak sebagai berikut:
1) Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisionil.
Bahwa peraturan hukum adat umumnya oleh rakyat dianggap berasal dari nenek moyang yang legendaris (hanya ditemui dari cerita orang tua).
2) Hukum adat dapat berubah.
Perubahan dilakukan bukan dengan menghapuskan dan mengganti peraturan-peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba, karena tindakan demikian itu akan bertentangan dengan sifat adat istiadat yang suci dan bahari. Akan tetapi perubahan terjadi oleh pengaruh kejadian-kejadian , pengaruh peri kedaan hidup yang silih berganti-ganti. Peraturan hukum adat harus dipakai dan dikenakan oleh pemangku adat (terutama oleh kepala-kepala) pada situasi tertentu dari kehidupan sehari-hari; dan peristiwa-peristiwa demikian ini, sering dengan tidak diketahui berakibat pergantian, berubahnya peraturan adat dan kerap kali orang sampai menyangka, bahwa peraturan-peraturan lama tetap berlaku bagi kedaaan-keadaan baru.
3) Kesanggupan hukum adat menyesuaikan diri.
Justru karena pada hukum adat terdapat sifat hukum tidak tertulis dan tidak dikodifikasi, maka hukum adat (pada masyarakat yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi dan dengan cepat berkembang modern) memperlihatkan kesanggupan untuk menyesuaikan diri dan elastisiteit yang luas. Suatu hukum sebagai hukum adat, yang terlebih-lebih ditimbulkan keputusan di kalangan perlengkapan masyarakat belaka, sewaktu-waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru.[1]
Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisionil. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitranya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Hukum adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berasal dari nenek moyang dan berlaku secara turun temurun. Hukum adat mengatur tentang masalah perkawinan, anak, harta perkawinan, warisan, tanah dan lain-lain yang selalu dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat agar tercapai ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat ini selalu dijunjung tinggi pelaksanaannya. Hukum adat juga mengatur tentang pengangkatan anak.
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini adalah:
1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia.
3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku Jawa, Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara hukum adatnya masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga tunduk kepada hukum adatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu mengutamakan kesejahteraan anak.
Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku, namun masih diperlukan lagi pengesahan dengan suatu penetapan pengadilan atau dengan suatu akta notaris yang disahkan oleh pengadilan setempat.





















BAB II
PEMBAHASAN


ADOPSI DALAM HUKUM ADAT
I.         Pengertian Adopsi
Pengertian mengenai adopsi dapat dilihat berdasarkan dua sudut pandang, yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
1.    Secara Etimologi
Apabila dilihat berdasarkan sudut pandang berdasarkan etimologi, maka adopsi berasal dari kata ‘adoptie’ yang berasal dari Bahasa Belanda. Pengertian dalam Bahasa Belanda menurut Kamus Hukum berarti ‘pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri’. Jadi disini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) dioper ke Bahasa Indonesia. Adopt (adoption) yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam Bahasa Arab disebut ‘tabanni’ yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan ‘mengambil anak angkat’.
2.    Secara Terminologi
Beberapa definisi mengenai adopsi yang dapat ditemukan, yaitu:
a.       Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu “anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”.
b.      Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan:
Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang demikian itu adalah bahwa anak yang diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melakukan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.
c.       Pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat
Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan/atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
d.      Pendapat Surojo Wignjodipuro, SH dalam bukunya Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat.
Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
e.       Dr. Mahmud Syaltut membedakan dua macam pengertian anak angkat, yaitu:
Pertama :    penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Kedua   :    yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya, tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.[2]
f.  Bushar Muhammad membagi pengangkatan anak dalam dua macam, yaitu:
1.  Adopsi langsung (mengangkat anak).
 Nyentanayang adalah salah satu bentuk adopsi langsung (mengangkat anak) di Bali, yaitu cara mengambil anak dari klan besar, dari lingkungan keluarga, bahkan akhir-akhir ini sering terjadi dari luar lingkungan keluarga. Apabila isteri tua tidaka mempunyai anak dan bini selir mempunyai anak, maka anak-anak tersebut dijadikan anak angkat isteri tua. Apabila tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil sebagai anak, dapat juga anak perempuan dipungut menjadi Sentana, yang diangkat dengan fungsi rangkap, yaitu pertama dipisahkan dari kerabatnya sendiri dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan jalan pembayaran adat berupa “seribu kepeng” serta “seperangkat pakaian perempuan” kemudian ia baru dihubungkan dengan keluarga yang mengangkat (diperas). Suami yang mengambil anak akan bertindak persetujuan kerabatnya, lalu diumumkan dalam desa “siar” dan dari pihak Raja sebagai kepala adat dikeluarkan izin yang disusun dalam satu penetapan raja, berupa akta yang disebut “Surat Peras”. Alasan dari pengangkatan semacam ini adalah suatu kekhawatiran akan kepunahan, malahan sesudah meninggalnya suami, isteri pun dapat mengangkat anak dengan mengangkat keris atas nama suami sebagai wakilnya.
2.  Adopsi tidak langsung.
Yaitu apabila seseorang kawin atau mengawinkan dan sesudah itu mengangkat seorang anak tirinya atau anak mantunya sebagai anaknya sendiri yang akan melanjutkan keturunan, kadang-kadang sebagai ahli waris sepenuhnya.[3]

II.      Tujuan Adopsi
Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Di sampinh itu juga untuk mempertahankan ikatan perkawinan agar tidak terjadi perceraian, tetapi dalam perkembangannya sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan anak”.[4]
Alasan dan tujuan melakukan adopsi adalah bermacam-macam, tetapi yang terutama dan terpenting adalah:
a.    Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya/kemanusiaan.
b.    Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya kelak kemudian di hari tua.
c.    Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah, maka akan dapat mempunyai anak sendiri.
d.   Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
e.    Untuk menambah/mendapatkan tenaga kerja.
f.     Untuk mempertahankan ikatan perkawinan/kebahagiaan keluarga.[5]
Dalam masyarakat hukum adat, dikenal pengambilan anak dari satu keluarga untuk dijadikan anak sendiri dengan bermacam-macam istilah, seperti ‘anak kukut’ atau ‘anak pulung’ di Singaraja, ‘anak pupon’ di Cilacap, ‘anak akon di Lombok Tengah’, ‘napuluku’ atau ‘wengga’ di Kabupaten Paniai Jaya Pura. Di Indonesia, pada umumnya orang lebih suka mengambil anak dari kalangan keluarga sendiri, sering tanpa surat adopsi yang semestinya. Kemudian berkembang dimana orang tidak hanya mengangkat anak dari kalangan keluarga saja tetapi juga anak-anak orang lain yang berasal dari panti asuhan, tempat penampungan bayi terlantar dan sebagainya.[6]
Untuk daerah-daerah yang sistem clan atau kekerabatannya masih kokoh, alasan pengangkatan anak di luar clan pada umumnya karena kekhawatiran akan habis mati kerabatnya. Keluarga yang tidak mempunyai anak dalam lingkungan kekuasaan kerabatnya, bersama-sama kerabatnya memungut atau mengangkat seorang anak sebagai perbuatan kerabat, dimana anak itu menduduki seluruhnya kedudukan anak kandung dari pada ibu-bapa yang memungutnya dan terlepas dari golongan anak saudaranya semula. Pengangkatan ini harus dilaksanakan dengan upacara-upacara tertentu dan dengan bantuan-bantuan penghulu setempat serta disaksikan oleh khalayak ramai dan diketahui serta dipahami oleh anggota keluarga dari yang mengangkat anak, agar menjadi jelas dan statusnya menjadi terang bagi anggota kerabat. Cara seperti ini dijumpai di daerah Nias, Gayo, Lampung dan di Kalimantan.[7]
Pada daerah Bali, pengangkatan anak hampir selalu dalam lingkungan clan besar dan pada kaum keluarga yang karib, walaupun di masa akhir-akhir ini juga diperbolehkan mengangkat anak yang berasal di luar clan-nya dengan pertimbangan kekhawatiran akan meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan akan kehilangan keturunannya sendiri.[8]
Di Minahasa, kecenderungan untuk mengangkat anak guna dijadikan penerus garis keturunannya sendiri, disamping ada maksud-maksud lain, seperti untuk memperoleh tenaga kerja di rumah, dan lain-lain. Dalam hal terakhir ini, ada juga keluarga yang mempunyai anak, jadi mengangkat anak lebih didasari oleh maksud menambah tenaga kerja di rumah.[9]
Di daerah Malang dan daerah Garut, ada juga alasan orang mengangkat anak sebagai ‘pancingan’, yakni berharap supaya mendapat anak kandung sendiri. Di samping itu, ada juga karena rasa kasihan terhadap anak kecil yang mejadi yatim piatu atau disebabkan orang tua mereka tidak mampu memberi nafkah.[10]
Di daerah-daerah lainnnya seperti di kecamatan Cikajang, Garut, motivasi pengangkatan anak adalah karena orangtua yang bersangkutan hanya mempunyai anak laki-laki saja, maka diangkatlah anak perempuan, atau sebaliknya. Sedang pasa Suku Semendo di Sumatera Selatan atau oleh Suku Dayak Landak dan Dayak Tayan di Kalimantan Barat, bisanya hanya mengangkat anak perempuan tanpa terikat oleh clan, agar dapat mempunyai anak perempuan yang tetap dapat mengawasi kekayaan dan anak perempuan mendapatkan kedudukan di atas dari anak laki-laki. Pada suku-suku bangsa terakhir ini, apabila anak perempuan tertua kawin, maka suaminya harus datang dan tinggal di rumahnya, karena ia sebagai pemelihara pusaka orangtuanya harus tinggal di rumah orangtuanya.[11]
Di daerah kecamatan Sambas dan Ngabang Kalimantan Barat, ada lagi motivasi pengangkatan anak untuk menambah jumlah keluarga dalam rumah tangga bagi yang sudah mempunyai anak dan agar anak mendapat perhatian pendidikan yang layak, serta ada juga karena keinginan mempunyai anak laki-laki, sebab tidak mempunyai anak laki-laki dan sebaliknya, dengan istilah ‘kepengin’, sedangkan pengangkatan anak yatim piatu disebut dengan istilah ‘anak umang’.[12]

III.  Syarat-Syarat Adopsi
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, beberapa peraturan yang mengatur mengenai syarat-syarat pengangkatan anak adalah:
a.        Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
Pengangkatan anak yang akan diadakan oleh golongan Tionghoa, dilakukan pengaturannya secara terulis dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1919. Dalam Staatblad 1917 Nomor 129 ini dikatakan bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan oleh:
a.  Sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki
b.  Seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki
c.  Seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, sepanjang almarhum suaminya tidak meninggalkan surat wasiat yang isinya tidak menghendaki jandanya melakukan pengangkatan anak.
d.  Untuk melakukan adopsi harus ada terlebih dahulu persetujuan dari suami-isteri yang hendak melakukannya.[13]
Syarat dari anak yang dapat diadopsi adalah sebagai berikut:
a.  Anak yang diadopsi ialah seorang anak Tionghoa yang laki-laki
b.  Anak tersebut haruslah tidak kawin
c.  Anak tersebut tidak mempunyai anak
d.  Anak tersebut tidak pula telah diadopsi oleh orang lain
e.  Perbedaan usia anak yang diadopsi dengan ayah angkatnya haruslah sekurang-kurangnya 15 tahun dan haruslah sekurang-kurangnya 18 tahun dengan ibu angkatnya.
f.  Apabila anak yang diadopsi itu adalah seorang anggota keluarga, sah atau tidak sah (artinya diluar nikah), maka hubungan keturunannya haruslah sama derajatnya seperti hubungan dalam adopsi.
g.  Apabila yang akan diadopsi adalah seorang anak yang sah, maka diperlukan persetujuan orangtua kandungnya.
h.  Apabila salah seorang dari padanya telah meninggal dunia, kecuali bila yang masih hidup itu adalah seorang ibu yang telah menikah kembali dengan laki-laki lain, dalam hal ini bagi anak di bawah umur yang memberikan persetujuannya ialah walinya dan Balai Harta Peninggalan.
i.   Apabila kedua orangtuanya sudah meninggal dunia,maka yang memberikan persetujuannya adalah walinya dan Balai Harta Peninggalan.[14]
Selain hal tersebut diatas, ada 2 ketentuan lagi yang perlu diperhatikan dalam Staatblad 1917 Nomor 129, yaitu:
1.  Pasal 11 Staatblad 1917 Nomor 129
     Menyatakan bahwa adopsi karena hukum menyebabkan orang yang diadopsi memakai nama keluarga orangtua angkatnya.
2.  Pasal 14 Staatblad 1917 Nomor 129
     Menyatakan bahwa adopsi karena hukum menyebabkan putusnya hubungan keperdataan
antara anak yang bersangkutan dengan orangtua kandungnya.[15]

b.    Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979)
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption).
            Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar WNI yang harus dipenuhi, antara lain sebagai berikut:
1.  Syarat bagi calon orangtua angkat (pemohon)
a.  Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orangtuta kandung dan orangtua angkat (private adoption).
b.  Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan
2.  Syarat bagi calon anak yang diangkat
a.  Dalam hal calon anak tersebut berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan anak.
b.  Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.[16]
Pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah serta pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah tidak diperbolehkan. Untuk intercountry adoption,  ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, natara lain:
1.    Syarat bagi calon orangtua angkat
a.  Bagi WNA, harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 tahun.
b.  Harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa calon orangtua angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang warga negara Indonesia.
c. Pengangkatan anak WNI harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa Yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung WNI dan calon orang tua angkat WNA tidak diperbolehkan.
d.  Pengangkatan anak WNA harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa Yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNA yang langsung dilakukan antara orang tua kandung WNA dan calon orang tua angkat WNI tidak diperbolehkan.
2.  Syarat bagi calon anak angkat
a.  Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan Yayasan Sosial harus dilampirkan izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak serta anak tersebut telah mendapat izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk untuk diserahkan sebagai anak angkat.
b.  Untuk inter country adoption, usia calon anak angkat harus di bawah 5 tahun.

c.         Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Bab VIII, bagian Kedua dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002.

a.  Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:
1.  Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.  Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya.
3.  Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut calon anak angkat.
4.  Pengangkatan anak oleh WNA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5.  Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak tersebut disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
b.  Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:
1.  Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya.
2.  Pemberitahuan asal-usul orangtua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

d.        Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, syarat-syarat mengangkat anak meliputi:
Pasal 12 yang berbunyi:
(1)   Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
(2)   Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,
     sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas)
     tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Pasal 13 yang berbunyi:
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik
bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan
diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

e.         Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
Pengangkatan anak bagi golongan bumi putera dilakukan berdasarkan hukum adatnya masing-masing. Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan tunai. Terang adalah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan di umumkan di depan orang banyak dengan resmi dan secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Tunai berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.
Ada beberapa ahli yang memberikan pendapatnya mengenai syarat-syarat dilakukannya adopsi menurut hukum adat, diantaranya adalah:
1.  Ter Haar menyatakan:
“Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari lingkungan keluarga kedalam lingkungan suatu clan atau kerabat tertentu, anak itu dilepaskan dari lingkungannya yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang dipungut itu masuk ke dalam lingkungan kerabat yang mengambilnya sebagai suatu perbuatan tunai.”[17]
2.  Surojo Wignjodipuro menyebutkan:
     “Adopsi dalam hal ini harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Kedudukan hukum anak yang diangkat demikian ini adalah sama dengan anak kandung daripada suami-isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekerluargaan dengan orangtua sendiri secara adat putus, seperti yang terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.”[18]


a.  Pihak yang boleh mengangkat anak
   Dalam hukum adat, tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan adopsi dan batas usianya, kepatutan batas usia seorang yang patut untuk diangkat dan yang tidak patut untuk diangkat, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya berbeda. Mengenai suatu hakiki pengangkatan anak secara adat dipangdang telah terjadi, yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan bahwa “Menurut hukum adat di daerah Jawa Barat,s eseorang dianggap sebagai anak angkat apabila telah diurus, dihitan, disekolahkan, dikawinkan oleh orangtua angkatnya”.[19]
Di daerah Kecamatan Singaraja Kabupaten Garut, seorang perempuan yang belum pernah kawin tidak boleh melakukan pengangkatan anak. Tetapi janda/duda diperbolehkan. Sedngkan di Kecamatan Leuwidamar (Bandung) baik yang belum maupun yang sudah kawin boleh saja melakukan pengangkatan anak, begitu juga di Kecamatan Banjarharjo, Brebes (Semarang). Di daerah Parindu Kalimantan Barat (suku Dayak Pandu) juga diperbolehkan, tapi dalam hubungan keponakan saja. Begitu juga di Kecamatan Sambas (Kalimantan Barat), kecuali di Kecamatan Manyuke, Mempawah, maka seseorang yang belum pernah melakukan perkawinan hanya boleh memelihara seorang anak yang disebut ‘nganahain’ yang bukan termasuk dalam pengertian mengangkat anak. Di daerah Kendari Sulawesi Tenggara, lain lagi, di sini tidak sitemukan orang yang belum kawin mengangkat anak, begitu pula di daerah Kolaka; kecuali janda/duda. Sedangkan di daerah Lombok Tengah belum diketahui atau belum pernah ada seseorang yang belum kawin mengangkat anak. Di daerah Palembang, menurut kebiasaannya hanya suami-isteri yang tidak mempunyai anak yang melakukan pengangkatan anak. [20]
b.    Pihak yang dapat diangkat sebagai anak angkat
Berkenaan dengan siapa saja yang dapat diadopsi, pada umumnya dalam masyarakat hukum adat Indonesia tidak membeda-bedakan apakan anak laki-laki atau anak perempuan, kecuali di beberapa daerah di Kecamatan Leuwidamar, disini anak perempuan tidak bisa dijadikan anak angkat. Juga di Kabupaten Kepang, Alor, Lampung Peminggiran Kecamatan Kedondong, sebab masyarakatnya menganut sistem garis keturunan laki-laki (patrilineal). Dalam hal usia di Kecamatan Garut yang dijadikan anak angkat adalah yang berusia di bawah 15 tahun dan dapat pula di atas 15 tahun asalkan belum kawin. Sedangkan di Kecamatan Ciakjang, biasanya anak yang diangkat sejak masih bayi sampai anak tersebut berumur 3 tahun. Di daerah Parindu Kalimantan Barat, seorang anak mulai dapat diangkat sebagai anak angkat setelah leaps dari susu ibunya.[21]
Di Kecamatan Sambas tidak menentuka faktor usia, melainkan faktor kelayakan yang diperhatikan yaitu umur anak yang akan diangkat dan orangtua yang mengangkat harus memiliki perbedaan layaknya anak dan orangtuanya sendiri. Pada masyarakat Melayu di daerah Pontianak, biasanya yang dijadikan anak angkat adalah anak yang baru berumur 40 hari dan paling besar berumur 5 tahun. Di Kecamatan Kendari pada umumnya anak yang diangkat berusia 1-6 tahun. Di beberapa daerah di Kabupaten Kaloka, umumnya anak yang diangkat itu diambil sejak masih kecil, semasa si anak yang akan diangkat belum tahu/kenal betul dengan orangtua yang sebenarnya. Sebaliknya apabila di Lombok Tengah, bahkan anak yang sudah dewasa pun dapat diambil sebagai anak angkat yang disana disebut dengan ‘anak akon’. Berbeda pula dengan Kabupaten Kupang dan Alor bagi suku Rote, umur anak yang akan diangkat setinggi-tingginya adalah 2 tahun, bahkan bagi suku Timor hanya 1 tahun. Di Kabupaten Tidore (Ambon) secara khusus tidak ditentukan batas umur, namun suatu keunikan di daerah ini, dimana ada seorang anak yang masih dalam kandungan sudah dibuatkan perjanjian yang mengangkat dengan orangtua yang mengandung untuk dijadikan anak angkat.[22]
Beberapa daerah di Irian Barat, juga ada anak yang sudah besar atau dewasa yang dijadikan anak angkat karena dia berjasa. Kemudian di salah satu daerah di Aceh Tengah terdapat juga orang dewasa, bahkan yang sudah kawin diambil sebagai anak angkat, asal saja umurnya tidak lebih dari 20 tahun dan lebih muda dari orangtua yang mengangkatnya. Pada umumnya di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya, sering mengangkat keponakan menjadi anak angkat. Pengangkatan anak dari keponakan itu sesungguhnya merupakan pergeseran hubungan kekeluargaan (dalam pengertian yang luas) dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai dengna pembayaran uang atau penyerahan sesuatu barang keapda orangtua anak yang sebenarnya, apda hakikatnya masih saudara sendiri dari orang yang mengangkat tersebut.[23]

IV.   Tata Cara Adopsi
Berkenaan dengan masalah tata cara adopsi atau pengangkatan anak ini, sebenarnya ada beraneka macam, sesuai dengan keanekaragaman sistem masyarakat adat, sekalipun secara essensial tetap memiliki persamaan.
Pada daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (kebapakan) antara lain terdapat di             Tapanuli, Nias, Gayo, Lampung, Bali dan Kepulauan Timor dimana pengangkatan anak hanya dilakukan terhadap anak laki-laki saja, dengan tujuan adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak bapak. Mengenai kewenangan anak angkat pada umumnya dapat dikatakan sama dengan kewenangan anak kandung, dalam arti anak angkat sama seperti anak kandung. Mempunyai kewenangan dalam pengurusan hari tua orangtua angkatnya. Ia menjadi generasi penerus bagi orangtua angkatnya.[24]
Di daerah yang mengikuti garis keibuan (matrilineal) terutama Minangkabau, hal ini ditegaskan oleh Mr. B. Ter Haar tidak mengenal lembaga pengangkatan anak. Karena menurut hukum adat yang berlaku di daerah Minangkabau harta warisan seorang ayah (bapak) tidak akan jatuh (diwarisi) oleh anak-anak keturunannya, melainkan diwarisi oeh saudara-saudara sekandung beserta saudara perempuan yang berasal dari satu ibu. Dengan demikian di Minangkabau yang perempuan tidak mendesak untuk melakukan perbuatan pengangkatan anak karena yang mewarisi adalah anak-anak dari saudaranya yang perempuan. [25]
Didaerah yang mengikuti garis keturunan keibu-bapakan (Parental) seperti Jawa dan Sulawesi, dimana pengangkatan anak (laki-laki & perempuan) pada umumnya dilakukan terhadap anak keponakannya sendiri dengan maksud dan tujuan untuk:
a. Memperkuat pertalian kekeluargaan
b.Suatu kepercayaan, dengan mengangkat anak itu, kedua orangtua angkat akan dikarunia anak
c. Menolong anak yang diangkat karena belas kasihan.[26]
Tata cara pengangkatan anak ini beraneka ragam sesuai dengan keanekaragaman masyarakat adat. Di Lampung Utara adopsi dilakukan dengan upacara pemotongan kerbau yang dihadiri anggota keluarga. Di Lahat (Palembang) pengangkatan dihadiri oleh ‘Keiro’, Khotib dan keluarga sedusun. Adopsi ada yang dilakukan secara tertulis dan ada yang tidak, asal saja dilakukan di muka umum. Biasanya diadakan sedekahan. Begiru juga di Kecamatan Lebung Utara dan Selatan, Kepahiyang dan Curup (Sumatera Selatan) adalah dengan satu perjamuan dengan mengundang Kutai, yakni ketua adat di marga yang bersangkutan ‘pasirah’ dengan acara memotong kambing dan memasak ‘serawa’ (beras ketan dicampur dengan kelapa dan gula merah).[27]
Bagi masyarakat suku Mapur di Kabupaten Bangka, adopsi dilakukan cukup dengan meminta secara langsung kepada orangtua calon anak yang akan diangkat, kemudian dilaporkan kepada Kepala Adat. Tetapi apabila tidak dilaporkan, maka hal tersebut tidak menjadi masalah karena angapan masyarakat adalah orangtua akndung anak tersebut mempunyai kuasa lebih daripada Kepala Adat. Untuk Kabupaten Barito (Kalimantan Selatan) cara orang disini dengan ‘selamatan sekedarnya’ dengan mengundang orang-orang tua disekitarnya. Sedangkan untuk daera di Kabupaten Goa tidaka da acara tertentu dalam melakukan adopsi. Bagi masyarakat Kepulauan Tidore (Ambon) yang penting adalah kata sepakat dari orangtua kandung dan orangtua angkat. Di beberapa desar di Kecamatan Duduk Kabupaten Gresik, tidak ada ketentuan khusus untuk melakukan adopsi, dalam pengertian tidak ada keharusan untuk melakukan selamatan, jadi begitu ada yang mengadopsi anak, lalu dilaporkan kepada Kepala Desa dan selanjutnya ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Begitu pula di Kebupaten Merauke (Jayapura) tidak terdapat cara tertentu dalam melakukan adopsi, kecuali mengadakan musyawarah antarkeluarga dan hasilnya diberitahukan kepada Kepala Desa.[28]
Pengangkatan anak dalam suku Marind, apabila anak tersebut berasal dari lain kerabat, ketentuan adat harus ada babi dari dusun Sagu. Masyarakat Gunung Biran Kabupaten Aceh Besar dan daerah Jeuram Meulaboh Kabupaten Aceh Barat tidak mengenal upacara apapun dalam proses pengangkatan anak, kecuali di daerah Takengon Kabupaten Aceh Tengah dan Tanah Alas Kabupaten Aceh Tenggara, pengangkatan anak dilakukan dengan kenduri atau selamatan yang dan disaksikan oleh masyarakat sekitarnya, terutama di daerah Takengon harus dihadiri oleh Kepala Adat setempat (Sarak Apat), kemudian diadakan acara “Pinang Biru” yang membagi-bagikan buah pinang sejumlah 1000 biji kepada anggota keluarga dan orang-orang yang hadir.[29]
Di daerah Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, anak laki-laki merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga. Anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga. Pada masyarakat Batak Toba, apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka ia dapat mengangkat seorang anak laki-laki yang disebut dengan “anak naniain” dengan syarat anak laki-laki yang diangkat haruslah berasal dari lingkungan kaluarga atau kerabat dekat orang yang mengangkat. Pengangkatannya haruslah dilaksanakan secara terus terang yaitu dilakukan di hadapan “dalihan na tolu” dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di desa sekeliling tempat tinggal orang yang mengangkat anak. Apabila syarat-syarat pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas telah terpenuhi, maka anak tersebut akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak lagi mewaris dari orang tua kandungnya.[30]

V.   Hak Dan Kewajiban Anak Angkat
Perlindungan terhadap anak di Indonesia, termasuk anak angkat bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtrera.
Dalam diri anak angkat melekat hak-hak sebagai anak dan harkat serta martrabat sebagai manusia seutuhnya, melekat hak-hak yang perlu dihormati dan dijunjung tinggi oleh orangtua angkatnya dan masyarakat pada umumnya. Hak-hak anak angkat yang dimaksud antara lain adalah:
a.  Berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuaid engan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b.  Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
c.  Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtua.
d.  Berhak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orangtuanya sendiri.
e.  Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak angkat orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.  Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
g.  Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
h.  Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
i.   Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
j.   Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.
k.  Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
l.   Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1.  Diskriminasi;
2.  Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3.  Penelantaran;
4.  Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
5.  Ketidakadilan, dan
6.  Perlakuan salah lainnya.
Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan tersebut, maka perlu dikenakan pemberatan hukuman.
m. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali ada alasan dan/atau hukum yang sah menunjukkan bahwa perpisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
n.  Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
1.  Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
2.  Perlibatan dalam sengketa bersenjata.
3.  Perlibatan dalam kerusuhan sosial.
4.  Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
5.  Perlibatan dan peperangan.
o.  Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh keabsahan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya hukum terakhir.
p.  Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1.  Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
2.  Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
3.  Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
q.  Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
r.   Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.[31]
Disamping hak-hak yang dijamin oleh undang-undang tersebut, anak-anak dan/atau anak angkat juga memiliki kewajiban-kewajiban sebagai kewajiban asasi yang juga harus dilaksanakan oleh seorang anak, yaitu bahwa setiap anak berkewajiban untuk:
a.  Menghormati orangtua, wali, dan guru;
b.  Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c.  Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d.  Menunaikan ibadah sesuai ajaran agamanya;
e.  Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.[32]

VI.  Kedudukan Anak Angkat
Beberapa putusan Pengadilan Negeri, misalnya putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Kalimantan Tengah dalam satu poin pertimbangan hukumnya mengatakan:
“Bahwa pengangkatan anak secara adat belum memiliki kekuatan hukum sepanjang belum disahkan oleh pengadilan. Itulah sebabnya beberapa kasus perdata yang sifatnya sengketa (contentiosa) gugatan waris biasanya adalah petitum permohonan pengesahan pengangkatan anak yang sudah berlangsung lama dan dilakukan berdasarkan hukum adat setempat, guna untuk mendapatkan warisan dari harta peninggalan orangtua angkatnya.”[33]
R. Soepomo menjelaskan perihal kedudukan dan akibat hukum pengangkatan anak yang dilakukan secara hukum adat, terutama yang terjadi di beberapa daerah pada Pulau Jawa dan Sunda, yaitu:
“Kedudukan anak angkat adalah berbeda daripada kedudukan anak angkat yang dilakukan di daerah-daerah, dimana sistem keluarga berdasarkan keturunan laki-laki (kebapakan), seperti di Bali misalnya, dimana perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak angkat dari pertalian keluarganya dari orangtuanya sendiri dengan memasukkan anak angkat tersebut kedalam keluarga pihak orangtua angkat, sehingga anak itu berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan orangtua angkatnya.”
Status anak angkat dalam hukum adat masyarakat adat Bali tersebut hampir sama dengan pengertian anak angkat dalam hukum Barat yang memutuskan dan memasukkan anak angkat dalam keluarga orangtua angkatnya sebagai anak kandung yang diberi hak-hak yang sama dengan status anak sah/anak kandung. [34]
Berbeda dengan kedudukan dan status anak angkat dalam sistem hukum ata Jawa. Di Jawa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan pertalian darah dengan orangtua kandung dari anak tersebut, hanya anak angkat didudukkan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan orangtua angkatnya dan sama sekali tidak memutuskan hak-haknya dengan orangtua kandungnya, sehingga hukum adat Jawa memberikan pepatah bagi anak angkat dalam hal hak waris di kemudian hari dengan istilah “Anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber air sumur”. Maksudnya anak angkat tetap memperoleh warisan dari orangtua kandung dan harta warisan dari orangtua angkatnya.[35]
Hak kewarisan angkat baik terhadap orangtua kandung maupun terhadap orangtua nagkat, terdapat beberapa perbedaan praktik angkatnya. Di daerah Lampung Utara, adat menyatakan dengan tegas bahwa anak angkat tidak mendapat harta warisan dari orangtua kandungnya. Dengan demikian secra akontrario dapat dipahami bahwa logika adat masyarakat Lampung Utara memandang bahwa anak angkat harus memperoleh harta warisan dari orangtua angkatnya.[36]
Muderis Zaini menyakii bahwa sebenarnya banyak daerah di Indonesia yang hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah sebagai ahli waris, seperti di daerah Lahat (Palembang), Pasemah, Kabupaten Batanghari, Kecamatan Bontomanaru Kabupaten Goa Kepulauan Tidore (Ambon), daerah Takengon Kabupaten Aceh Tengah, Kecamatan Ciakjang Kabupaten Garut, Kecamatan Sambas Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Beberapa daerah tersebut secara tegas menyatakan bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari orangtua angkatnya, anak angkat adalah ahli waris dari orangtua kandungnya. Anak angkat memperoleh warisan melalui hibah atau pemberian atau wasiat (sebelum orangtua angkatnya meninggal dunia.)[37]
VII.   Akibat Hukum Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat
Dilihat dari aspek akibat hukum, pengangkatan anak menurut hukum adat memiliki segi persamaan dengan adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya dan terputusnya hubungan keluarga dengan orangtua kandungnya dan keluarganya. Persyaratannya dalam hukum adat diisnyaratkan suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak angkat, biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magis.[38]
Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, berbeda dengan motivasi pengangkatan anak yang terdapat dalam undang-undang perlindungan anak yang menekankan bahwa perbuatan pengangkatan anak harus didorong oleh motivasi semata-mata untuk kepentingan terbaik anak yang akan diangkat. Dlam hukum adat lebih ditentukan pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekrabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung orangtua yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula. Pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan upacara-upacara dengan bantuan pemuka-pemuka rakyat atau penghulu-penghulu yang dilakukan secara terang karena dihadiri dan disaksikan oleh hadirin undangan dan khalayak ramai.[39]






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam hal pengangkatan anak di Indonesia, peraturan yang menjadi landasannya hingga saat ini adalah:
1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia.
3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
Pengangkatan anak, apabila ditinjau dari segi hukum adat, maka tidak terdapat suatu pengaturan yang seragam mengenai hal ini, pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat masyarakat masing-masing dan beraneka ragam sesuai dengan keanekaragaman masyarakat adat yang ada di Indonesia.
Pengangkatan anak dapat berakibat pada dua hal, ada pengangkatan anak yang mengakibatkan putusnya hubungan anak tersebut dengan orangtua kandungnya, sekaligus tidak menjadi ahli waris dari orangtua kandungnya, namun ada juga pengangkatan anak yang tidak memutuskan hubungan kekerabatan anak tersebut dengan orangtua kandungnya dan tetap menjadi ahli waris dari orangtua kandungnya (terdapat pada masyarakat Jawa, Sunda). Kewajiban dan hak anak angkat, sama dengan kewajiban dan hak dari anak-anak lainnya (anak kandung).






DAFTAR PUSTAKA

Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A. Soehardi, Bandung, Sumur Bandung 1971
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2002
Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Jakarta PT. Raja Grafindo
Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia, Bandung, Tarsito, 1982
Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, 2007
 Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak, sebagaimana termuat dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17730/3/Chapter%20II.pdf.
Sunarmi, “Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat)”, sebagaimana termuat dalam www.usu.ac.id.


[1] Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A. Soehardi, (Bandung; Sumur Bandung, 1971), hlm. 7

[2] Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2002), hlm. 4-6
[3] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, (Jakarta; PT. Raja Grafindo), hlm.. 36
[4] Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia, (Bandung, Tarsito, 1982), hlm. 4
[5] Djaja S. Meliala, Ibid, hlm. 3-4
[6] Muderis Zaini, Op. Cit, hlm. 8
[7] Muderis Zaini, Ibid, hlm. 8
[8] Muderis Zaini, Ibid, hlm. 9
[9] Muderis Zaini, Ibid, hlm. 8
[10] Muderis Zaini, Ibid, hlm. 10
[11] Muderis Zaini, Ibid., hlm. 10
[12] Muderis Zaini, Ibid., hlm. 10
[13] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, sebagaimana termuat dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17730/3/Chapter%20II.pdf., diakses pada tanggal 14 Juni 2012, pukul 02.23 WIB.
[14] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, Ibid.
[15] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, Ibid.
[16] Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007), hlm. 35
[17] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, Op. Cit.
[18] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, Ibid.
[19] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Op. Cit., hlm. 38
[20] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 39
[21] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 40
[22] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 40-41

[23] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 41
[24] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, Op. Cit.
[25] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, Ibid.
[26] “Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak”, Ibid.
[27] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Op. Cit., hlm. 42

[28] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 42
[29] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 43
[30] Sunarmi, “Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat)”, sebagaimana termuat dalam www.usu.ac.id, diakses pada tanggal 11 Mei 2012, pukul 15.35 WIB.
[31] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Op. Cit., hlm. 68-71
[32] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 71
[33] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 43-44
[34] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 44
[35] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 45
[36] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 45
[37] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 46
[38] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 34
[39] Ahmad Kamil, H.M.Fauzan, Ibid., hlm. 34